[ad_1]
Sejak resmi beroperasi pada 24 Maret 2019 lalu, hingga 26 November 2019 kemarin, tercatat sekitar 19.990.959 orang telah menggunakan layanan MRT Jakarta. Dengan ketepatan waktu 100 persen, baik waktu kedatangan, durasi perjalanan antarstasiun, dan keberangkatan, kehadiran MRT Jakarta telah telah perlahan-lahan membangun budaya baru mobilitas masyarakat menjadi lebih disiplin, tertib, dan teratur. Selain itu, sesuai mandat ketiga PT MRT Jakarta, yaitu pengembangan bisnis, PT MRT Jakarta telah menghasilkan pendapatan non-tiket sebesar Rp225 miliar. Pendapatan non-tiket ini meliputi telekomunikasi sebesar dua persen; periklanan sebesar 55 persen; retail dan UMKM sebesar satu persen; dan hak penamaan stasiun sebesar 33 persen.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar, ketika memberikan pemaparan di hadapatan sekitar 50-an jurnalis cetak dan daring dalam kegiatan bulanan “Forum Jurnalis MRT Jakarta” pada Rabu (27-11-2019) lalu di kantor pusat PT MRT Jakarta di Gedung Wisma Nusantara. “Estimasi sekitar sembilan bulan operasi MRT Jakarta, pendapatan non-tiket yang diperoleh sebesar Rp225 miliar dan pendapatan tiket sebesar Rp180 miliar. Ini belum diaudit ya jadi angka pastinya bisa berubah. Meski demikian, ini adalah perkiraan kami,” jelas ia. “Selain dua sumber pendapatkan tersebut, ada juga subsidi pemerintah sebesar Rp560 miliar, dan pendapatan lain-lain, seperti bunga bank dan selisih kurs sekitar Rp40 miliar sehingga total sekitar Rp1 triliun. Lalu, selama sembilan bulan operasinya, biaya yang dikeluarkan mencapai sekitar Rp940 miliar. Dengan potensi pendapatan dikurangi pengeluaran, dari situ kita dapatkan laba komprehensif sekitar Rp60-70 miliar,” ungkap ia sembari menunjukkan grafik laba pendapatan PT MRT Jakarta.
“Ini angka sementara karena laporan keuangan PT MRT Jakarta baru akan terbit di awal tahun dan akan diaudit, jadi kita baru akan dapat laporan audit keuangan sekitar Maret 2020. Namun, yang ingin saya sampaikan adalah ini gambaran besarnya. Dengan konstruksi yang bagus, layanan pelanggan yang bagus, pengembangan aspek komersialnya besar, sebenarnya ada potensi kalau perusahaan kereta itu bisa meraih laba di tahun pertama operasinya,” tutur William. William juga menyampaikan bahwa pada 2020, PT MRT Jakarta berhatap pendapatan naik lagi. “Ada pendapatan rutin dari hak penamaan, telekomunikasi, yang otomatis tinggal bayar, kita bisa juga mendapatkan pemasukan lagi dari hak penamaan stasiun lain yang belum “terjual” hak penamaannya, ditambah pemasukan lain seperti aplikasi QR code, interkoneksi properti lain jalur MRT Jakarta, tentunya dengan komposisi subsidi yang sama,” jelas ia.
“Perlu diketahui bahwa subsidi ini bukan ke perusahaan ya, melainkan ke penumpang karena harga keekonomian tiket perjalanan yang seharusnya Rp30 ribu namun disubsidi sebesar Rp20 ribu oleh pemerintah. Kalau asumsinya besar, pada 2020 kita akan meraih laba komprehensif sekitar 200-250 miliar, pada 2021 kita akan untung sekitar Rp300-350 miliar,” jelas ia. “Ini yang harus dijaga oleh publik bahwa mari kita jaga perusahaan ini agar selalu sehat, bisa memberikan servis premium sehingga bisnis akan premium juga. Kita ingin layanan bintang lima agar bisnis dan aspek komersialnya pun bintang lima agar pendapatan non-tiketnya makin besar melebihi pendapatan tiketnya, kalau bisa dua hingga tiga kali,” pungkas ia. [NAS]
[ad_2]
Source link